7 Penyebab Kegagalan Training Needs Analysis (TNA) di Perusahaan
Penulis: Bahari Antono
Dipublikasikan pada: 29 Juli 2025
Training Needs Analysis (TNA) adalah fondasi penting dalam merancang program pelatihan yang efektif untuk mendukung perkembangan karyawan dan kesuksesan organisasi. Di Indonesia, di mana pasar tenaga kerja terus berkembang dengan pesat, TNA menjadi alat strategis bagi praktisi HR, profesional, dan pemilik bisnis untuk memastikan karyawan memiliki keterampilan yang relevan. Namun, tidak jarang TNA gagal memberikan hasil yang diharapkan. Berdasarkan pengamatan terkini dan diskusi dengan para pemangku kepentingan, berikut adalah tujuh penyebab utama kegagalan TNA di perusahaan, lengkap dengan solusi praktis untuk mengatasinya.
1. Kurangnya Keselarasan dengan Tujuan Bisnis
Salah satu penyebab utama kegagalan TNA adalah ketidakselarasan antara kebutuhan pelatihan yang diidentifikasi dengan tujuan strategis perusahaan. Banyak organisasi di Indonesia melakukan TNA hanya sebagai formalitas tanpa mempertimbangkan visi jangka panjang, seperti ekspansi pasar atau transformasi digital. Akibatnya, pelatihan yang dirancang tidak mendukung prioritas bisnis.
Solusi: Libatkan pemimpin senior dalam proses TNA untuk memastikan kebutuhan pelatihan selaras dengan strategi bisnis. Misalnya, jika perusahaan berencana mengadopsi teknologi AI, TNA harus fokus pada keterampilan seperti analitik data atau manajemen proyek teknologi. Gunakan pendekatan berbasis data, seperti analisis kesenjangan (gap analysis), untuk mengidentifikasi kebutuhan yang relevan.
2. Proses Identifikasi Kebutuhan yang Tidak Komprehensif
TNA sering gagal karena proses pengumpulan datanya tidak menyeluruh. Banyak perusahaan hanya mengandalkan wawancara dengan manajer atau survei sederhana tanpa melibatkan karyawan dari berbagai level. Di Indonesia, faktor seperti hierarki organisasi dapat membatasi masukan dari karyawan lini bawah, sehingga kebutuhan pelatihan yang sebenarnya tidak terdeteksi.
Solusi: Gunakan pendekatan multi-sumber untuk TNA, seperti wawancara, kuesioner, observasi, dan analisis performa. Contohnya, perusahaan seperti Unilever Indonesia menerapkan 360-degree feedback untuk mendapatkan perspektif holistik. Pastikan semua pemangku kepentingan, termasuk karyawan operasional, dilibatkan untuk menangkap kebutuhan yang akurat.
3. Kurangnya Kompetensi Tim HR dalam Melakukan TNA
Banyak tim HR di Indonesia belum memiliki keahlian mendalam dalam merancang dan melaksanakan TNA yang efektif. Kurangnya pelatihan dalam metodologi TNA, seperti analisis SWOT atau model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation), dapat menghasilkan analisis yang dangkal dan tidak actionable.
Solusi: Investasikan dalam pengembangan kompetensi tim HR melalui pelatihan atau sertifikasi, seperti Certified People & Development Specialaist (CPDS), Certified Learning & Development Specialist (CLDS). Selain itu, pertimbangkan untuk menggunakan alat TNA berbasis teknologi, seperti software HRIS, untuk mempermudah proses analisis dan pelaporan.
4. Data yang Tidak Akurat atau Usang
TNA yang bergantung pada data yang tidak akurat atau usang sering kali menghasilkan rekomendasi pelatihan yang tidak relevan. Di banyak perusahaan Indonesia, data performa karyawan atau tren pasar tenaga kerja tidak diperbarui secara berkala, sehingga kebutuhan pelatihan tidak mencerminkan realitas terkini, seperti kebutuhan akan keterampilan digital atau kerja hybrid.
Solusi: Pastikan data yang digunakan dalam TNA selalu mutakhir. Lakukan pembaruan data secara berkala melalui evaluasi performa, survei karyawan, dan analisis tren industri. Misalnya, laporan LinkedIn Workforce Insights 2024 menunjukkan bahwa 65% perusahaan di Indonesia memprioritaskan keterampilan digital—data ini dapat menjadi acuan untuk TNA.
5. Kurangnya Dukungan dari Manajemen Senior
Tanpa dukungan dari pemimpin senior, TNA sering kali kehilangan legitimasi dan sumber daya. Di Indonesia, banyak pemimpin masih memandang pelatihan sebagai biaya, bukan investasi, sehingga TNA tidak mendapatkan anggaran atau perhatian yang memadai. Hal ini menyebabkan rekomendasi TNA tidak diimplementasikan dengan baik.
Solusi: Edukasi manajemen senior tentang ROI (Return on Investment) pelatihan. Tunjukkan data konkret, seperti studi dari Harvard Business Review yang menyebutkan bahwa pelatihan yang tepat sasaran dapat meningkatkan produktivitas karyawan hingga 20%. Libatkan mereka sebagai sponsor dalam proses TNA untuk meningkatkan komitmen.
6. Ketidakmampuan Mengantisipasi Perubahan Pasar
Pasar tenaga kerja Indonesia terus berubah dengan cepat, didorong oleh digitalisasi, globalisasi, dan perubahan demografis seperti dominasi tenaga kerja milenial dan Gen Z. Namun, banyak TNA gagal mengantisipasi kebutuhan masa depan, seperti keterampilan untuk AI, cybersecurity, atau manajemen tim jarak jauh, sehingga pelatihan menjadi kurang relevan.
Solusi: Integrasikan analisis tren pasar ke dalam TNA. Gunakan sumber seperti laporan World Economic Forum atau Job Market Outlook dari JobStreet untuk memprediksi keterampilan yang dibutuhkan. Contohnya, perusahaan seperti Telkom Indonesia mengadopsi pelatihan berbasis teknologi untuk mengantisipasi kebutuhan transformasi digital.
7. Tidak Adanya Evaluasi Pasca-TNA
Banyak perusahaan tidak melakukan evaluasi pasca-TNA untuk mengukur efektivitas pelatihan yang direkomendasikan. Tanpa metrik yang jelas, seperti peningkatan performa atau kepuasan karyawan, sulit untuk mengetahui apakah TNA berhasil mengatasi kesenjangan keterampilan. Di Indonesia, praktik evaluasi ini sering terabaikan karena keterbatasan waktu atau sumber daya.
Solusi: Tetapkan KPIs spesifik untuk mengevaluasi hasil TNA, seperti tingkat penyelesaian pelatihan, peningkatan skor performa, atau feedback peserta. Gunakan model evaluasi seperti Kirkpatrick’s Four Levels (Reaction, Learning, Behavior, Results) untuk mengukur dampak pelatihan. Lakukan review berkala untuk memperbaiki proses TNA di masa depan.
Catatan
Training Needs Analysis adalah alat strategis yang dapat mengubah cara perusahaan mengelola pengembangan karyawan, tetapi keberhasilannya bergantung pada eksekusi yang cermat. Dengan mengatasi tujuh penyebab kegagalan di atas—kurangnya keselarasan dengan tujuan bisnis, proses identifikasi yang tidak komprehensif, kurangnya kompetensi tim HR, data yang tidak akurat, minimnya dukungan manajemen, ketidakmampuan mengantisipasi perubahan, dan kurangnya evaluasi—perusahaan dapat memastikan TNA menghasilkan pelatihan yang relevan dan berdampak.
Bagi praktisi HR, profesional, dan pemilik bisnis di Indonesia, tantangan ini adalah peluang untuk meningkatkan daya saing organisasi melalui SDM yang kompeten. Dengan pendekatan yang sistematis, berbasis data, dan selaras dengan kebutuhan bisnis, TNA dapat menjadi motor penggerak transformasi organisasi di era yang penuh dinamika ini.
Mari terhubung! Bagikan pengalaman Anda tentang TNA di kolom komentar atau hubungi saya di LinkedIn. Bersama, kita wujudkan SDM Indonesia yang siap bersaing di panggung global.