When Extra Effort Makes You Worse at Your Job

(Ketika Usaha Tambahan Justru Membuat Anda Lebih Buruk dalam Pekerjaan)

Oleh: Tim HRD Forum

Pendahuluan: Paradoks Usaha Tambahan

Dalam budaya kerja Indonesia, kita sering mendengar pepatah: “Kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil.” Banyak profesional percaya bahwa semakin banyak usaha, semakin besar pula peluang untuk sukses. Tidak jarang kita melihat karyawan bekerja lembur, mengorbankan akhir pekan, atau rela menanggung beban tambahan demi membuktikan dedikasi.

Namun, penelitian terbaru dalam bidang organizational behavior justru menunjukkan fenomena paradoks: extra effort yang berlebihan bisa membuat seseorang lebih buruk dalam pekerjaannya. Alih-alih meningkatkan kinerja, usaha tambahan yang salah arah justru memicu penurunan produktivitas, kreativitas, bahkan kesehatan mental.

Artikel ini akan membahas mengapa hal ini terjadi, apa tanda-tandanya, serta bagaimana HR dan pemimpin dapat mendorong kinerja berkelanjutan tanpa menjebak karyawan dalam “over-efforting trap.”


1. Esensi Extra Effort dalam Dunia Kerja

Dalam literatur Human Capital Management, extra effort sering dipandang sebagai cerminan discretionary effort—usaha tambahan yang muncul bukan karena kewajiban formal, melainkan karena karyawan merasa terhubung secara emosional dengan pekerjaannya dan organisasinya.

Artinya, extra effort adalah ekspresi keterlibatan (engagement) yang tulus: seseorang mau berbuat lebih dari yang tertulis dalam job description karena ia peduli, merasa memiliki, dan ingin memberi kontribusi nyata.


Bentuk-Bentuk Extra Effort

Di tempat kerja, extra effort bisa muncul dalam berbagai bentuk:

  1. Lembur demi menyelesaikan proyek kritis. Misalnya, tim IT yang rela bekerja hingga tengah malam untuk memastikan sistem ERP berjalan lancar sebelum go-live.
  2. Mengambil peran tambahan di luar job description. Seorang staf keuangan yang membantu tim HR menyiapkan data payroll ketika ada keterbatasan SDM.
  3. Mengorbankan waktu pribadi demi kepentingan kantor. Contohnya, seorang manajer marketing yang tetap menjawab klien strategis saat akhir pekan.

Di tahap tertentu, tindakan ini sangat berharga. Ia menunjukkan dedikasi, kepedulian, dan loyalitas—nilai yang sering dipuji sebagai modal utama karier.


Sisi Positif Extra Effort

Ketika dilakukan secara sehat, extra effort dapat menjadi katalisator:

  • Meningkatkan kinerja tim karena ada energi tambahan untuk mencapai target.
  • Memperkuat reputasi profesional karyawan sebagai individu yang dapat diandalkan.
  • Membangun ikatan emosional antara karyawan dan organisasi, karena karyawan merasa dirinya berkontribusi lebih besar dari sekadar “pekerja.”

Risiko yang Perlu Diwaspadai

Namun, di balik sisi positifnya, ada potensi bahaya. Extra effort bisa menjadi kontraproduktif ketika:

  • Dilakukan secara berlebihan, hingga mengorbankan kesehatan fisik maupun mental.
  • Tidak terarah, sehingga energi habis untuk hal-hal yang tidak relevan dengan prioritas organisasi.
  • Tidak didukung organisasi, sehingga karyawan merasa “dimanfaatkan” tanpa apresiasi yang sepadan.

📌 Refleksi:
Di banyak perusahaan Indonesia, extra effort kadang diromantisasi sebagai tanda loyalitas mutlak. Padahal, tanpa pengelolaan yang bijak, budaya “all out” justru bisa menjebak karyawan dalam siklus kelelahan dan penurunan performa.


Penutup Bagian

Maka, esensi extra effort bukanlah sekadar kerja lebih keras, tetapi kerja lebih bermakna. Extra effort yang sehat adalah yang lahir dari keterlibatan, diarahkan pada tujuan strategis, dan dikelola dengan dukungan organisasi.

2. Perspektif Global vs. Lokal

🌍 Global: Hustle Culture dan Dampaknya

Dalam dua dekade terakhir, terutama di negara Barat dan perusahaan multinasional, kita menyaksikan munculnya fenomena yang dikenal sebagai hustle culture. Budaya ini mengagungkan kerja tanpa henti—24 jam sehari, 7 hari seminggu—di mana kesibukan dianggap sebagai simbol status dan dedikasi.

Bagi banyak profesional muda, terutama di sektor teknologi dan keuangan, hustle culture awalnya dilihat sebagai tiket menuju kesuksesan. Seseorang dianggap “berkomitmen” jika ia rela mengorbankan tidur, waktu pribadi, dan bahkan kesehatan demi target perusahaan.

Namun, studi terbaru dalam bidang organizational behavior menunjukkan sisi gelapnya:

  • Burnout massal: karyawan merasa kelelahan emosional, fisik, dan mental.
  • Disengagement: semangat kerja merosot karena usaha ekstra tidak sebanding dengan kepuasan.
  • Turnover tinggi: talenta terbaik meninggalkan perusahaan untuk mencari keseimbangan hidup.

📌 Refleksi global: Hustle culture akhirnya mulai ditinggalkan. Banyak perusahaan progresif justru mengkampanyekan sustainable performance—kinerja jangka panjang berbasis keseimbangan, bukan pengorbanan tanpa henti.


🇮🇩 Lokal: Budaya “Kerja Keras = Loyalitas”

Di Indonesia, dinamika berbeda muncul. Extra effort sering dipersepsikan bukan hanya sebagai bentuk dedikasi profesional, tetapi juga cermin loyalitas personal.

Karyawan yang pulang paling malam, tetap hadir meski sakit ringan, atau selalu bersedia mengambil tugas tambahan sering dilabeli sebagai “orang yang serius dalam karier.” Bahkan, ada norma tak tertulis: “kalau ingin naik jabatan, tunjukkan kesediaan berkorban.”

Budaya ini tidak sepenuhnya buruk. Ia mendorong solidaritas tim, semangat gotong royong, dan rasa kebersamaan. Namun, tanpa pengelolaan yang sehat, ia bisa berubah menjadi tekanan sosial: karyawan merasa terpaksa lembur agar tidak dianggap kurang loyal, meskipun pekerjaannya sebenarnya bisa diselesaikan lebih efisien.


📌 Refleksi

Baik di Barat dengan hustle culture-nya, maupun di Indonesia dengan budaya “kerja keras = loyalitas,” ada pola yang sama: extra effort dipuja, tetapi sering tidak dikelola.

Jika dibiarkan, budaya ini bisa menjadi jebakan psikologis dan organisasi:

  • Mengikis makna pekerjaan, karena kerja dipandang sekadar beban tambahan.
  • Menciptakan rasa terpaksa, bukan semangat intrinsik.
  • Menyebabkan kelelahan kronis, yang justru menurunkan produktivitas jangka panjang.

👉 Dengan kata lain, baik global maupun lokal, tantangannya sama: bagaimana mengubah extra effort dari “pengorbanan” menjadi “kontribusi bermakna.”


3. Ketika Extra Effort Menjadi Bumerang

Pada dasarnya, usaha tambahan adalah energi ekstra yang dikeluarkan karyawan dengan harapan membawa dampak positif bagi pekerjaannya maupun organisasinya. Namun, seperti obat yang dosisnya berlebihan bisa berubah menjadi racun, demikian pula dengan extra effort. Alih-alih meningkatkan performa, ia justru bisa membuat karyawan lebih buruk dalam pekerjaannya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita lihat beberapa penyebab utama.


1. Kelelahan Kognitif (Cognitive Fatigue)

Otak manusia bukan mesin tanpa batas. Ia memiliki kapasitas energi yang terbatas untuk fokus, analisis, dan pengambilan keputusan.

Ketika seseorang bekerja terus-menerus tanpa istirahat cukup:

  • Konsentrasi menurun.
  • Kemampuan berpikir kritis melemah.
  • Kualitas keputusan memburuk.

📌 Refleksi:
Di Indonesia, fenomena “lembur demi terlihat loyal” sering justru membuat hasil pekerjaan berantakan karena kelelahan mental. Sayangnya, banyak organisasi lebih melihat “jam kerja panjang” ketimbang “kualitas output.”


2. Burnout dan Hilangnya Engagement

Burnout bukan sekadar lelah fisik, melainkan kondisi kehabisan energi emosional, mental, dan motivasi.

Hal ini sering terjadi ketika usaha tambahan:

  • Tidak dihargai oleh organisasi.
  • Tidak membawa dampak nyata.
  • Tidak didukung sistem atau tim.

Ironisnya, karyawan yang awalnya sangat peduli justru menjadi apatis. Mereka merasa tenaga ekstra yang dicurahkan sia-sia, sehingga kehilangan engagement.

📌 Refleksi:
Banyak profesional muda di Indonesia keluar dari pekerjaannya bukan karena gaji rendah, melainkan karena usaha keras mereka tidak pernah diapresiasi.


3. Penurunan Kualitas Kerja

Ada anggapan bahwa semakin lama seseorang bekerja, semakin banyak yang bisa diselesaikan. Padahal, kenyataannya sering berlawanan.

  • Semakin lelah, semakin tinggi risiko melakukan kesalahan kecil.
  • Fokus yang terpecah membuat detail terlewat.
  • Kuantitas jam kerja meningkat, tetapi kualitas hasil menurun.

📌 Refleksi:
Fenomena ini sangat terasa pada pekerjaan berbasis presisi, seperti analisis data, desain produk, atau keuangan. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal.


4. Opportunity Cost

Energi manusia terbatas. Ketika semua tenaga dicurahkan pada rutinitas kerja yang berlebihan, maka ada harga tak terlihat yang harus dibayar:

  • Hilangnya kesempatan untuk berinovasi.
  • Berkurangnya waktu belajar dan mengembangkan diri.
  • Rusaknya hubungan sosial—baik dengan rekan kerja, keluarga, maupun jaringan profesional.

📌 Refleksi:
Di banyak organisasi Indonesia, karyawan yang sibuk lembur dianggap “hebat.” Padahal, mereka mungkin sedang kehilangan peluang untuk meng-upgrade kompetensi atau membangun relasi strategis yang jauh lebih penting bagi karier jangka panjang.


📌 Contoh Kasus Nyata

Seorang analis data di sebuah perusahaan finansial bekerja lembur hampir setiap hari demi menyelesaikan laporan bulanan.

  • Awalnya: ia dipuji karena dedikasinya.
  • Namun kemudian: karena kelelahan, ia sering membuat kesalahan perhitungan. Laporan yang disusun harus direvisi berulang kali, menunda proses pengambilan keputusan manajemen.
  • Hasil akhirnya: alih-alih meningkatkan reputasi, performanya justru dipandang menurun.

Penutup Bagian

Di sinilah letak paradoks extra effort: semakin keras seseorang berusaha tanpa arah dan tanpa dukungan, semakin besar kemungkinan ia justru merusak kinerjanya sendiri.

👉 Maka, kuncinya bukan pada “berapa banyak energi yang dikeluarkan,” tetapi bagaimana energi itu dikelola dan diarahkan agar benar-benar bermakna.ur setiap hari demi menyelesaikan laporan bulanan. Hasilnya, ia justru sering membuat kesalahan perhitungan karena kelelahan. Laporan harus direvisi berulang kali, membuat produktivitas tim menurun.


4. Tanda-Tanda Extra Effort Sudah Berlebihan

Extra effort yang sehat bisa menjadi energi positif bagi kinerja. Namun, ketika sudah melewati batas, ia berubah menjadi beban yang merusak produktivitas maupun kesejahteraan karyawan. Sayangnya, tanda-tanda ini sering diabaikan karena tidak selalu terlihat jelas di permukaan.

Mari kita identifikasi indikatornya dalam empat dimensi utama:


1. Dimensi Fisik

Tubuh selalu memberi sinyal pertama ketika kita berlebihan.

  • Cepat lelah, bahkan untuk tugas sederhana.
  • Sering sakit, misalnya flu berulang atau gangguan pencernaan karena imunitas menurun.
  • Sulit tidur, akibat pikiran terus terbebani pekerjaan.

📌 Catatan: Dalam jangka panjang, gejala ini bisa berkembang menjadi penyakit serius seperti hipertensi, gangguan jantung, atau masalah kesehatan kronis lainnya.


2. Dimensi Psikologis

Usaha ekstra yang tidak dikelola membuat kondisi mental terganggu.

  • Kehilangan motivasi: pekerjaan terasa hambar, meski awalnya penuh semangat.
  • Merasa tidak dihargai: karyawan bertanya-tanya, “Untuk apa saya berkorban kalau tidak ada apresiasi?”
  • Sinis terhadap pekerjaan atau organisasi: muncul sikap sarkastis, apatis, atau bahkan menarik diri dari tim.

📌 Catatan: Burnout seringkali bermula dari psikologis yang terkikis perlahan, bukan dari kelelahan fisik semata.


3. Dimensi Perilaku Kerja

Ketika tubuh dan pikiran sudah kewalahan, perilaku kerja sehari-hari pun terpengaruh.

  • Sering salah, baik dalam perhitungan maupun keputusan.
  • Lambat mengambil keputusan, karena otak kehilangan kejernihan berpikir.
  • Sulit fokus, sehingga butuh waktu lebih lama menyelesaikan tugas rutin.

📌 Catatan: Dalam banyak organisasi Indonesia, ironi terjadi: karyawan yang sering salah karena kelelahan justru dimarahi, padahal masalah dasarnya adalah sistem yang membiarkan over-efforting.


4. Dimensi Sosial

Extra effort yang berlebihan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga lingkungannya.

  • Hubungan dengan keluarga memburuk karena waktu pribadi terus tersita.
  • Konflik dengan rekan kerja, karena emosi mudah terpancing saat lelah.
  • Isolasi sosial, karyawan menarik diri dari pergaulan demi mengejar pekerjaan.

📌 Catatan: Banyak penelitian menunjukkan bahwa keseimbangan sosial adalah penopang utama resiliensi. Ketika ini hilang, karyawan makin rapuh menghadapi tekanan kerja.


📌 Refleksi

Di Indonesia, tanda-tanda ini sering diabaikan karena ada tekanan budaya: takut dianggap tidak loyal, kurang komitmen, atau tidak “all out.”

Namun justru inilah jebakannya. Mengabaikan sinyal tubuh, psikologis, dan relasi sosial demi citra loyalitas, pada akhirnya merusak kinerja jangka panjang dan menurunkan kualitas hidup karyawan itu sendiri.

👉 Pesan penting: Kesehatan dan makna kerja bukanlah hasil dari seberapa keras kita berusaha, melainkan seberapa bijak kita mengelola batas.
Di Indonesia, banyak karyawan mengabaikan tanda-tanda ini karena takut dianggap “tidak loyal.” Padahal, justru dengan mengabaikan batas, kinerja jangka panjang jadi korban.


5. Prinsip Human Capital: Bukan Lebih Banyak, tetapi Lebih Bermakna

Dalam paradigma Human Capital Management (HCM) modern, ukuran kinerja tidak lagi ditentukan oleh berapa lama seseorang duduk di meja kerjanya, melainkan oleh nilai tambah (value creation) yang ia hasilkan.

Jam kerja panjang tidak otomatis berarti produktivitas tinggi. Justru, riset menunjukkan bahwa setelah titik tertentu, menambah jam kerja hanya meningkatkan kelelahan, bukan kontribusi. Oleh karena itu, extra effort baru bisa disebut sehat bila ia terarah, relevan dengan strategi organisasi, dan difasilitasi dengan dukungan yang tepat.


🔑 Prinsip Kunci Extra Effort yang Bermakna

  1. Alignment dengan Tujuan Organisasi
    • Usaha tambahan harus sejalan dengan prioritas bisnis, bukan sekadar “kesibukan” yang membuat karyawan terlihat rajin.
    • Contoh: Bila organisasi sedang fokus pada transformasi digital, maka extra effort sebaiknya diarahkan ke proyek digitalisasi proses, bukan hanya tumpukan administrasi tambahan.
    • 📌 Refleksi: Banyak organisasi Indonesia masih terjebak dalam activity trap—menghargai kesibukan, bukan dampak. HR perlu mengubah pola pikir ini.
  2. Sustainability (Keberlanjutan)
    • Extra effort harus dapat dilakukan secara konsisten tanpa mengorbankan kesehatan fisik, mental, maupun keseimbangan hidup karyawan.
    • Kinerja berkelanjutan jauh lebih berharga dibanding “heroisme sesaat” yang berakhir dengan burnout.
    • 📌 Refleksi: Organisasi perlu menormalisasi istirahat, cuti, dan work-life balance sebagai bagian dari strategi produktivitas, bukan sebagai “kemalasan.”
  3. Recognition (Apresiasi dan Pengakuan)
    • Karyawan yang rela memberikan usaha ekstra perlu mendapatkan pengakuan yang tulus, baik dalam bentuk formal (bonus, promosi, pelatihan) maupun informal (apresiasi verbal, pengakuan di tim).
    • Tanpa pengakuan, extra effort akan dianggap eksploitasi. Karyawan merasa dimanfaatkan, bukan dihargai.
    • 📌 Refleksi: Di Indonesia, apresiasi sering diabaikan dengan alasan “itu memang sudah kewajiban.” Padahal, penelitian menunjukkan bahwa pengakuan sederhana dapat meningkatkan engagement secara signifikan.

🌱 Makna di Balik Prinsip Ini

Prinsip-prinsip tersebut mengingatkan kita bahwa kinerja bukan soal lebih banyak, melainkan lebih bermakna.

  • Seorang karyawan yang mampu memberikan solusi strategis dalam 8 jam kerja bisa memberi dampak lebih besar daripada karyawan yang lembur 12 jam hanya untuk memproses pekerjaan administratif.
  • Organisasi yang menghargai keseimbangan hidup akan melahirkan talenta yang lebih kreatif, loyal, dan inovatif.

👉 Dengan kata lain, human capital terbaik bukanlah mereka yang paling sibuk, tetapi mereka yang paling mampu memberi dampak dengan cara yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan.


6. Perspektif Psikologi: The Law of Diminishing Returns

Dalam ilmu psikologi kerja dan ekonomi perilaku, terdapat prinsip klasik yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Returns. Prinsip ini menjelaskan bahwa semakin banyak energi atau sumber daya yang kita curahkan, semakin kecil tambahan hasil (returns) yang kita dapatkan setelah melewati titik optimal.

Artinya, bekerja lebih keras tidak selalu berarti bekerja lebih baik. Ada saat di mana setiap tambahan jam kerja atau energi justru tidak menghasilkan peningkatan kinerja yang signifikan, bahkan bisa menurunkannya.


📊 Gambaran dalam Dunia Kerja

  • Pada titik awal, ketika seseorang menambah usaha (misalnya bekerja lembur sesekali), produktivitas memang meningkat karena target cepat tercapai.
  • Namun, setelah titik optimal, setiap tambahan jam kerja mulai menghasilkan output yang lebih sedikit per unit usaha.
  • Jika dipaksa terus, yang muncul bukan lagi produktivitas, melainkan kelelahan, kesalahan, dan bahkan kerusakan jangka panjang.

⚖️ Analogi: Latihan Otot

Prinsip ini mirip dengan dunia olahraga.

  • Latihan dengan intensitas cukup membuat otot tumbuh lebih kuat.
  • Tetapi latihan berlebihan tanpa istirahat justru merobek jaringan otot, memicu cedera, dan memperlambat pemulihan.

Demikian pula dalam pekerjaan:

  • Usaha optimal memberi pertumbuhan karier.
  • Usaha berlebihan tanpa jeda justru menghancurkan performa, motivasi, bahkan kesehatan.

🧠 Perspektif Psikologi Kerja

Secara psikologis, diminishing returns berhubungan dengan keterbatasan energi kognitif dan emosional manusia.

  • Otak memiliki kapasitas terbatas untuk fokus, analisis, dan kreativitas.
  • Ketika dipaksa melampaui batas, kualitas pemikiran menurun.
  • Alih-alih solusi cerdas, yang muncul adalah keputusan impulsif, kesalahan detail, atau bahkan hilangnya motivasi.

📌 Refleksi: Banyak profesional Indonesia yang percaya “semakin lama di kantor, semakin terlihat rajin.” Padahal, yang terjadi setelah jam ke-10 bukan lagi produktivitas, melainkan penurunan kualitas hasil dan kesehatan mental.


🌱 Pelajaran Penting untuk Organisasi

The Law of Diminishing Returns memberi pelajaran penting:

  1. Ada titik optimal usaha. Organisasi harus membantu karyawan mengenali dan menjaga batas sehat.
  2. Kerja berkelanjutan lebih bernilai daripada heroisme sesaat. Karyawan yang mampu bekerja konsisten 8 jam sehari dengan kualitas tinggi jauh lebih berharga daripada yang memaksakan diri 14 jam lalu jatuh sakit.
  3. Istirahat adalah bagian dari produktivitas. Waktu rehat bukan kemalasan, tetapi mekanisme alami untuk mengembalikan energi.

👉 Dengan kata lain, extra effort hanya membawa hasil bila dikelola secara cerdas. Melebihi titik optimal bukan lagi investasi, tetapi justru utang yang akan ditagih dalam bentuk burnout, kesalahan kerja, dan penurunan performa.


7. Dampak Jangka Panjang Extra Effort Berlebihan

Dalam ilmu psikologi kerja dan ekonomi perilaku, terdapat prinsip klasik yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Returns. Prinsip ini menjelaskan bahwa semakin banyak energi atau sumber daya yang kita curahkan, semakin kecil tambahan hasil (returns) yang kita dapatkan setelah melewati titik optimal.

Artinya, bekerja lebih keras tidak selalu berarti bekerja lebih baik. Ada saat di mana setiap tambahan jam kerja atau energi justru tidak menghasilkan peningkatan kinerja yang signifikan, bahkan bisa menurunkannya.


📊 Gambaran dalam Dunia Kerja

  • Pada titik awal, ketika seseorang menambah usaha (misalnya bekerja lembur sesekali), produktivitas memang meningkat karena target cepat tercapai.
  • Namun, setelah titik optimal, setiap tambahan jam kerja mulai menghasilkan output yang lebih sedikit per unit usaha.
  • Jika dipaksa terus, yang muncul bukan lagi produktivitas, melainkan kelelahan, kesalahan, dan bahkan kerusakan jangka panjang.

⚖️ Analogi: Latihan Otot

Prinsip ini mirip dengan dunia olahraga.

  • Latihan dengan intensitas cukup membuat otot tumbuh lebih kuat.
  • Tetapi latihan berlebihan tanpa istirahat justru merobek jaringan otot, memicu cedera, dan memperlambat pemulihan.

Demikian pula dalam pekerjaan:

  • Usaha optimal memberi pertumbuhan karier.
  • Usaha berlebihan tanpa jeda justru menghancurkan performa, motivasi, bahkan kesehatan.

🧠 Perspektif Psikologi Kerja

Secara psikologis, diminishing returns berhubungan dengan keterbatasan energi kognitif dan emosional manusia.

  • Otak memiliki kapasitas terbatas untuk fokus, analisis, dan kreativitas.
  • Ketika dipaksa melampaui batas, kualitas pemikiran menurun.
  • Alih-alih solusi cerdas, yang muncul adalah keputusan impulsif, kesalahan detail, atau bahkan hilangnya motivasi.

📌 Refleksi: Banyak profesional Indonesia yang percaya “semakin lama di kantor, semakin terlihat rajin.” Padahal, yang terjadi setelah jam ke-10 bukan lagi produktivitas, melainkan penurunan kualitas hasil dan kesehatan mental.


🌱 Pelajaran Penting untuk Organisasi

The Law of Diminishing Returns memberi pelajaran penting:

  1. Ada titik optimal usaha. Organisasi harus membantu karyawan mengenali dan menjaga batas sehat.
  2. Kerja berkelanjutan lebih bernilai daripada heroisme sesaat. Karyawan yang mampu bekerja konsisten 8 jam sehari dengan kualitas tinggi jauh lebih berharga daripada yang memaksakan diri 14 jam lalu jatuh sakit.
  3. Istirahat adalah bagian dari produktivitas. Waktu rehat bukan kemalasan, tetapi mekanisme alami untuk mengembalikan energi.

👉 Dengan kata lain, extra effort hanya membawa hasil bila dikelola secara cerdas. Melebihi titik optimal bukan lagi investasi, tetapi justru utang yang akan ditagih dalam bentuk burnout, kesalahan kerja, dan penurunan performa.ahan yang dimaksudkan untuk membantu organisasi justru bisa merugikan organisasi bila tidak dikelola.


8. Rekomendasi Praktis untuk HR dan Pemimpin Indonesia

Bagaimana menghindari jebakan extra effort yang kontraproduktif? Berikut beberapa langkah praktis:

  1. Tetapkan batas sehat. Normalisasikan pulang tepat waktu; jangan glorifikasi lembur.
  2. Hargai hasil, bukan jam kerja. Ubah budaya “siapa yang paling lama di kantor” menjadi “siapa yang memberi kontribusi terbaik.”
  3. Lakukan check-in rutin. Supervisor perlu memantau apakah karyawan mulai menunjukkan tanda burnout.
  4. Berikan fleksibilitas. Remote work atau jam kerja fleksibel bisa membantu karyawan mengatur energi lebih baik.
  5. Ajarkan prioritisasi. Tidak semua pekerjaan harus dikerjakan sekaligus; bantu karyawan fokus pada hal yang memberi dampak terbesar.
  6. Apresiasi usaha yang bermakna. Jangan biarkan extra effort berlalu tanpa pengakuan; sekecil apapun, apresiasi memberi energi baru.

9. Contoh Praktik Baik

Studi Kasus Global

Perusahaan teknologi seperti Microsoft dan Salesforce menerapkan kebijakan “No Meeting Friday” agar karyawan punya waktu fokus dan tidak kelelahan dengan rapat.

Studi Kasus Lokal

Salah satu perusahaan XYZ di Indonesia mulai mengubah budaya lembur dengan sistem “kerja cerdas”: lembur hanya boleh dengan persetujuan manajemen, dan keberhasilan diukur dari capaian proyek, bukan dari jam kerja panjang.

📌 Pelajaran: Usaha tambahan yang sehat harus didesain secara sistemik, bukan dibiarkan liar.


10. Penutup: Usaha Tambahan yang Membawa Makna

Kerja keras tetap penting, tetapi kerja keras tanpa arah bisa menjadi jebakan. Extra effort yang berlebihan dan tidak terkelola justru menjadikan karyawan lebih buruk dalam pekerjaannya: lebih lelah, lebih banyak salah, lebih jauh dari makna kerja yang sesungguhnya.

Tugas HR dan pemimpin di Indonesia adalah memastikan extra effort bukan berarti “korban,” melainkan “kontribusi bermakna.” Bukan lebih lama, tetapi lebih fokus. Bukan lebih banyak, tetapi lebih bernilai.

👉 Karena pada akhirnya, kinerja berkelanjutan bukan ditentukan oleh siapa yang bekerja paling keras, tetapi siapa yang bekerja paling cerdas, sehat, dan bermakna.

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Archives

You May Also Like

Apakah HRD bisa kaya raya? Temukan rahasia bagaimana profesional HRD bisa sukses finansial, naik kelas, dan membangun masa depan sejahtera...
Temukan jadwal lengkap & topik pelatihan HRD Forum 2026. 40 training unggulan HR profesional Indonesia! Download jadwal via scan code...
Panduan lengkap penerapan KPI di tim operator pabrik padat karya. Solusi adil & efektif untuk meningkatkan produktivitas dan kolaborasi kerja.

You cannot copy content of this page