Fenomena “Quiet Quitting” vs. “Loud Ambition”: Mengapa Keseimbangan Kerja Itu Mitos
Pendahuluan: Dua Kutub Dunia Kerja yang Sama-Sama Lelah
Dalam beberapa tahun terakhir, dua istilah baru menguasai percakapan dunia kerja global — Quiet Quitting dan Loud Ambition.
Yang pertama menggambarkan karyawan yang bekerja “secukupnya saja.”
Datang, mengerjakan apa yang diminta, lalu pulang tepat waktu tanpa drama. Tidak lebih, tidak kurang.
Bagi mereka, hidup terlalu berharga untuk dihabiskan mengejar KPI.
Yang kedua menggambarkan mereka yang sebaliknya — Loud Ambition.
Mereka lantang bicara soal target, mimpi, dan pencapaian.
Mereka posting di LinkedIn, memimpin proyek, ikut pelatihan, dan menulis “#growthmindset” di bio-nya.
Mereka hidup dengan energi “lebih”, seolah dunia kerja adalah panggung pertunjukan karier.
Namun, di balik dua kutub ini, ada kesamaan yang jarang dibahas:
Keduanya lahir dari kelelahan yang sama — hanya bereaksi dengan cara berbeda.
Dan di antara keduanya, ada satu mitos yang terus kita kejar tanpa sadar:
“Work-life balance.”
Padahal, mungkin — keseimbangan itu tidak pernah benar-benar ada.
1. Asal-usul Fenomena “Quiet Quitting”
Istilah Quiet Quitting pertama kali viral lewat TikTok pada 2022, dibawa oleh generasi muda (Gen Z dan milenial akhir) yang mulai jenuh dengan budaya hustle culture.
Maknanya bukan “berhenti kerja diam-diam,”
tapi lebih kepada: berhenti bekerja melebihi batas tanpa kompensasi atau makna.
“Saya tetap kerja, tapi hanya sesuai kontrak.
Saya bukan mesin produktivitas, saya manusia.”
Fenomena ini muncul karena banyak pekerja merasa:
- Tidak dihargai meski sudah berusaha lebih,
- Tidak punya ruang tumbuh atau didengar,
- Terjebak dalam sistem kerja yang menuntut tanpa memberi arah,
- Dan mulai sadar bahwa “kerja keras tanpa arah = lelah permanen.”
Dengan kata lain, Quiet Quitting adalah bentuk perlawanan diam-diam terhadap ekspektasi berlebihan.
2. Di Sisi Lain, Lahir “Loud Ambition”
Sementara itu, di sisi berlawanan, muncul tren Loud Ambition — orang-orang yang dengan bangga menampilkan ambisinya secara publik.
Mereka aktif di LinkedIn, rajin ikut webinar, suka berbagi pencapaian, dan selalu bicara tentang growth, impact, dan leadership.
Namun, sering kali Loud Ambition dipersepsikan negatif: “pamer”, “overexposed”, atau “terlalu haus validasi.”
Padahal, bagi sebagian orang, Loud Ambition bukan tentang pamer,
melainkan tentang membangun jejak profesional yang terlihat.
Di dunia digital, visibility adalah mata uang baru.
Jadi sebenarnya, Quiet Quitting dan Loud Ambition hanyalah dua ekspresi dari hal yang sama:
Mencari identitas diri di tengah dunia kerja yang menuntut terlalu banyak, tapi memberi terlalu sedikit.
3. Dua Respons terhadap Krisis yang Sama
Kedua fenomena ini — meski tampak berlawanan — sesungguhnya lahir dari satu sumber yang sama:
disonansi antara makna dan realitas kerja.
| Aspek | Quiet Quitting | Loud Ambition |
|---|---|---|
| Reaksi terhadap sistem | Menarik diri, menjaga energi | Menyerang balik dengan produktivitas |
| Tujuan utama | Menjaga keseimbangan hidup | Mengejar pertumbuhan dan pengaruh |
| Risiko | Terjebak stagnasi | Terjebak burnout |
| Kebutuhan emosional | Dihargai & dilindungi | Diakui & dipromosikan |
| Kata kunci | Batasan | Eksposur |
Keduanya mencoba memecahkan dilema yang sama dengan cara berbeda.
Yang satu membangun tembok perlindungan, yang lain membangun menara pencapaian.
Namun, keduanya bisa jatuh ke ekstrem yang berbahaya jika kehilangan arah.
4. Keseimbangan Kerja: Sebuah Mitos yang Kita Ciptakan Sendiri
Kita sering mendengar nasihat ini:
“Cari work-life balance, biar hidup seimbang.”
Kedengarannya bijak. Tapi jika dipikirkan lebih dalam, konsep ini punya celah besar.
a. Balance Mengasumsikan Dua Hal yang Berlawanan
Konsep work-life balance secara tidak sadar membuat kita berpikir bahwa:
- “Work” dan “life” adalah dua hal yang terpisah.
- Untuk menambah satu, kita harus mengurangi yang lain.
Padahal, kenyataannya, kerja adalah bagian dari hidup — bukan lawannya.
Kita tidak bisa menyeimbangkan dua hal yang saling bertautan.
b. Keseimbangan Itu Dinamis, Bukan Statis
Keseimbangan yang sejati bukan 50:50 setiap hari.
Kadang kerja mendominasi, kadang keluarga. Kadang kita belajar, kadang kita istirahat.
Yang penting bukan “seimbang secara waktu,” tapi selaras secara makna.
Pertanyaannya bukan “berapa jam saya kerja?”
tapi “apakah yang saya kerjakan membawa saya ke hidup yang saya mau?”
c. Keseimbangan Tidak Sama dengan Kebahagiaan
Banyak orang merasa bersalah karena belum “seimbang,”
padahal mereka justru menikmati pekerjaannya.
Sebaliknya, banyak yang punya waktu luang tapi tetap merasa hampa.
Jadi mungkin, yang perlu kita kejar bukan keseimbangan,
tetapi keselarasan antara nilai pribadi dan arah pekerjaan.
5. Apa yang Sebenarnya Kita Cari: Meaningful Alignment
Daripada terus mengejar balance, kita perlu mengejar alignment — keselarasan.
Alignment berarti:
- Kita tahu kenapa kita bekerja,
- Kita tahu untuk apa energi kita digunakan,
- Dan kita bisa menerima dinamika antara kerja dan hidup tanpa merasa bersalah.
Dalam alignment, kerja tidak lagi menjadi musuh kehidupan,
melainkan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai kehidupan itu sendiri.
Contoh Nyata:
- Seorang desainer yang bekerja keras di startup bukan karena ingin kaya, tapi karena ia percaya pada visinya membantu UMKM.
- Seorang ibu bekerja yang tetap ambisius bukan karena ego, tapi karena ingin menjadi teladan bagi anaknya.
- Seorang karyawan korporat yang memilih “quiet mode” bukan karena malas, tapi karena ingin menjaga kesehatan mentalnya agar bisa tetap berkarya jangka panjang.
Semua ini bukan soal “lebih kerja atau lebih santai,”
tapi soal “apa yang benar-benar berarti buat saya?”
6. Mengapa Keseimbangan Sering Gagal: Sistem Kerja Belum Siap
Fenomena Quiet Quitting dan Loud Ambition tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada individu.
Masalah utamanya ada pada struktur dan budaya organisasi.
Beberapa perusahaan masih memegang paradigma lama:
- Menganggap loyalitas = lembur,
- Mengukur performa dari jam kerja, bukan hasil,
- Tidak menyediakan ruang untuk otonomi dan eksplorasi.
Padahal, menurut Daniel H. Pink (dalam buku Drive),
motivasi modern tidak lahir dari reward–punishment,
melainkan dari tiga hal: Autonomy, Mastery, dan Purpose.
Ketika tiga hal ini tidak hadir, orang akan memilih dua jalan:
- Quiet Quitting — mundur diam-diam.
- Loud Ambition — mengejar makna di luar organisasi (misalnya lewat personal branding atau side project).
Jadi, solusi bukan memadamkan fenomena ini,
tetapi menciptakan lingkungan yang membuat orang tidak perlu memilih ekstrem.
7. Bahaya dari Dua Ekstrem
a. Terlalu “Quiet” Bisa Membunuh Potensi
Jika terlalu nyaman di zona aman, seseorang bisa kehilangan daya dorong.
Kerja jadi sekadar rutinitas, bukan ekspresi potensi.
Dalam jangka panjang, ini bisa menggerus rasa percaya diri dan relevansi.
b. Terlalu “Loud” Bisa Membunuh Ketenangan
Sebaliknya, jika ambisi terlalu keras tanpa jeda,
kita bisa terjebak burnout — kelelahan yang terasa sampai ke identitas.
Bahkan pencapaian pun terasa kosong, karena hidup hanya diukur dari “apa lagi yang bisa saya menangkan?”
Keduanya — Quiet Quitting dan Loud Ambition — sama-sama berisiko jika tidak disertai refleksi diri.
8. Jadi, Apa yang Sebaiknya Kita Kejar?
Jawabannya bukan balance atau ambition, tapi sustainability.
Sustainability dalam karier berarti:
- Kita bisa berkembang tanpa kehilangan diri sendiri,
- Kita bisa ambisius tanpa kelelahan,
- Kita bisa santai tanpa kehilangan arah.
3 Pilar Karier yang Berkelanjutan:
1. Clarity (Kejelasan)
Tahu arah, tahu alasan.
Bukan sekadar “ingin sukses,” tapi “ingin sukses dalam bentuk apa dan untuk siapa.”
2. Capacity (Kapasitas)
Bangun kapasitas secara bertahap.
Tidak harus jenius di semua hal, tapi terus bertumbuh lewat pembelajaran kecil yang konsisten.
3. Compassion (Kepedulian)
Jangan lupakan kemanusiaan di tengah ambisi.
Berhenti mengejar validasi eksternal, mulai nikmati progres internal.
9. Peran Pemimpin dan Organisasi
Perusahaan yang cerdas tidak menertawakan fenomena Quiet Quitting,
tapi justru menggunakannya sebagai cermin.
a. Redefinisikan Produktivitas
Produktivitas bukan berarti “selalu online.”
Produktivitas adalah ketika karyawan selaras dengan perannya dan merasa memiliki ruang untuk tumbuh.
b. Fasilitasi Otonomi dan Rasa Tujuan
Berikan kebebasan mengatur cara kerja,
tapi juga bantu mereka menemukan makna di balik pekerjaan.
c. Ubah Ambisi Jadi Kolaborasi
Bukan tentang siapa yang paling bersinar,
tapi bagaimana semua orang bisa tumbuh tanpa saling membakar.
10. Kesimpulan: Dari “Balance” ke “Belonging”
Mungkin kita tidak butuh dunia kerja yang seimbang,
tapi dunia kerja yang manusiawi.
Kita tidak bisa menyeimbangkan dua hal yang melebur — kerja dan hidup —
tapi kita bisa memastikan keduanya berasal dari sumber nilai yang sama.
Quiet Quitting dan Loud Ambition hanyalah dua bahasa dari keresahan yang sama.
Yang satu ingin merasa cukup, yang lain ingin merasa berarti.
Pada akhirnya, bukan balance yang kita cari,
tapi belonging — rasa memiliki, rasa terhubung, rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Refleksi Pribadi:
Sebelum menilai seseorang terlalu quiet atau terlalu loud,
tanyakan: “Apakah dia sedang kehilangan makna, atau sedang mencarinya?”
Karena kadang, ambisi yang berisik lahir dari hati yang kosong,
dan diam yang tenang justru datang dari jiwa yang sudah penuh. 🌿