Quiet Quitting adalah fenomena di mana karyawan melakukan pekerjaan hanya sebatas tugas minimum yang diwajibkan oleh peran mereka, tanpa usaha ekstra atau keterlibatan lebih dalam pekerjaan. Istilah ini menjadi populer di media sosial, terutama setelah viral di platform seperti TikTok dan X sekitar tahun 2022, sebagai respons terhadap budaya kerja yang menuntut tinggi, ketidakseimbangan kerja-hidup, atau kurangnya pengakuan di tempat kerja.
Karakteristik Quiet Quitting
- Bekerja Sesuai Deskripsi Pekerjaan: Karyawan hanya melakukan apa yang tercantum dalam job description, tanpa inisiatif tambahan seperti lembur sukarela atau mengambil proyek di luar tanggung jawab.
- Menjaga Batasan Kerja: Fokus pada keseimbangan kerja-hidup, seperti menolak menjawab email di luar jam kerja atau tidak menghadiri acara kantor yang tidak wajib.
- Penurunan Keterlibatan: Kurangnya antusiasme atau komitmen emosional terhadap organisasi, sering kali karena merasa tidak dihargai atau kelelahan (burnout).
- Bukan Berhenti Total: Berbeda dengan resignasi, karyawan tetap bekerja, tetapi dengan tingkat usaha yang minimal untuk menghindari masalah seperti pemecatan.
Penyebab Quiet Quitting
- Kelelahan Kerja (Burnout): Tekanan kerja yang berlebihan tanpa dukungan memadai.
- Kurangnya Pengakuan: Karyawan merasa kerja keras mereka tidak dihargai, baik secara finansial maupun emosional.
- Ketidakseimbangan Kerja-Hidup: Ekspektasi untuk selalu tersedia, terutama di era kerja hybrid atau remote.
- Ketidakpuasan dengan Manajemen: Kurangnya komunikasi, dukungan, atau visi yang jelas dari pimpinan.
- Budaya Kerja yang Tidak Mendukung: Lingkungan kerja yang toksik atau tidak inklusif.
- Faktor Generasi: Generasi milenial dan Gen Z di Indonesia sering kali memprioritaskan kesejahteraan pribadi dan menolak budaya “hustle” yang menuntut pengorbanan berlebihan.
Dampak Quiet Quitting
- Bagi Karyawan:
- Positif: Mengurangi stres dan melindungi kesehatan mental dengan menetapkan batasan.
- Negatif: Berpotensi membatasi peluang promosi atau pengembangan karier.
- Bagi Organisasi:
- Penurunan produktivitas dan inovasi karena kurangnya inisiatif karyawan.
- Peningkatan turnover jika karyawan merasa tidak terhubung dengan organisasi.
- Tantangan bagi HR untuk meningkatkan keterlibatan dan membangun budaya kerja yang positif.
Quiet Quitting di Indonesia
Di Indonesia, fenomena ini relevan karena budaya kerja di beberapa industri, seperti teknologi, ritel, atau manufaktur, sering kali menuntut jam kerja panjang atau ketersediaan di luar jam kerja. Regulasi seperti UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, yang mengatur fleksibilitas kerja, juga memengaruhi persepsi karyawan tentang ekspektasi kerja. Selain itu, budaya hierarkis di beberapa perusahaan dapat memperburuk ketidakpuasan karyawan, mendorong mereka untuk “quiet quitting” sebagai bentuk protes pasif.
Cara Mengatasi Quiet Quitting (Perspektif HR)
- Tingkatkan Keterlibatan Karyawan:
- Adakan survei kepuasan karyawan untuk mengidentifikasi masalah.
- Berikan pengakuan melalui penghargaan atau insentif.
- Dukung Keseimbangan Kerja-Hidup:
- Terapkan kebijakan kerja fleksibel atau batasan komunikasi di luar jam kerja.
- Sediakan program kesejahteraan, seperti konseling kesehatan mental.
- Bangun Komunikasi Terbuka:
- Fasilitasi sesi umpan balik dua arah, seperti town hall atau one-on-one.
- Pastikan manajer dilatih untuk mendengarkan dan mendukung tim.
- Selaraskan Tujuan Karyawan dan Organisasi:
- Gunakan pendekatan seperti Management By Objectives (MBO) untuk memberikan tujuan yang jelas.
- Tawarkan peluang pengembangan karier melalui pelatihan atau mentoring.
- Ciptakan Budaya Kerja Positif:
- Promosikan inklusivitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan.
- Atasi budaya toksik dengan pelatihan kepemimpinan dan nilai organisasi yang kuat.
Relevansi dengan Tren Terkini
Quiet Quitting mencerminkan pergeseran nilai di kalangan tenaga kerja, terutama Gen Z dan milenial, yang mengutamakan kesehatan mental dan tujuan pribadi di atas loyalitas buta terhadap perusahaan. Di Indonesia, tren ini diperkuat oleh meningkatnya kesadaran akan hak karyawan, sebagian didorong oleh regulasi ketenagakerjaan dan akses informasi melalui media sosial. Untuk tetap kompetitif, perusahaan perlu menyesuaikan strategi SDM agar lebih berpusat pada karyawan (employee-centric).
Kesimpulan: Quiet Quitting adalah fenomena kompleks yang mencerminkan ketidakseimbangan antara ekspektasi karyawan dan organisasi. Bagi praktisi HR, HC, HRBP, dan pimpinan perusahaan di Indonesia, memahami dan mengatasi akar penyebabnya—seperti kurangnya pengakuan atau budaya kerja yang menekan—adalah kunci untuk membangun tenaga kerja yang produktif dan terlibat. Dengan pendekatan yang tepat, quiet quitting dapat diubah menjadi peluang untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan mendukung.