Q & A HR: Apakah Boleh Menurunkan Status PKWTT ke PKWT karena Karyawan Bermasalah?
Pertanyaan:
Selamat siang Bapak/Ibu praktisi HR yang kami hormati,
Kami ingin mengajukan sebuah pertanyaan yang mungkin relevan dengan dinamika ketenagakerjaan di perusahaan Bapak/Ibu. Apakah di perusahaan Anda pernah terjadi kasus penurunan status hubungan kerja dari PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) menjadi PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) karena karyawan yang bersangkutan dianggap bermasalah?
Apakah langkah tersebut diperbolehkan secara hukum? Atau adakah opsi lain yang lebih tepat dan sesuai ketentuan perundang-undangan?
Mohon pencerahan dan pengalaman Bapak/Ibu, semoga dapat menjadi pembelajaran bersama bagi komunitas praktisi HR di seluruh Indonesia.
Jawab:
Pertanyaan ini sangat penting dan sering muncul dalam diskusi para praktisi HR. Secara prinsip dan merujuk pada ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, perubahan status hubungan kerja dari PKWTT ke PKWT tidak diperkenankan secara sepihak, termasuk sebagai bentuk sanksi terhadap karyawan yang dianggap bermasalah.
Legalitas Perubahan Status PKWTT ke PKWT
Menurut UU Ketenagakerjaan (UU No.13/2003 jo. UU Cipta Kerja), perjanjian kerja tidak boleh diubah sepihak tanpa persetujuan karyawan. Pasal 55 UU 13/2003 menegaskan bahwa kontrak kerja “tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah kecuali atas persetujuan para pihak”. Selain itu UU 13/2003 Pasal 61 mengatur bahwa PKWTT hanya berakhir karena kondisi tertentu (kematian pekerja, putusan PHI, perundingan bersama, dll), bukan semata-mata karena kesalahan karyawan. Demikian pula Pasal 59 ayat (2) melarang membuat PKWT untuk pekerjaan bersifat tetap. Dengan kata lain, mengubah status karyawan tetap menjadi kontrak tanpa prosedur PHK resmi akan dianggap pemutusan hubungan kerja sepihak yang melanggar hukum. Praktik demikian tidak diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan maupun PP 35/2021 (omnibus Cipta Kerja) – PP 35/2021 hanya mengatur mekanisme PHK dan perhitungan pesangon, tanpa mengizinkan konversi status kontrak sebagai sanksi.
Opsi Hukum/Administratif yang Sah dan Etis
- Surat Peringatan (SP) Bertingkat: UU 13/2003 Pasal 161 mensyaratkan pemberian SP 1, 2, 3 sebelum PHK karena pelanggaran. Artinya karyawan berulang kali melanggar diingatkan melalui SP (masa berlaku 6 bulan). Jika setelah SP3 masalah masih berlanjut, perusahaan dapat memutus hubungan kerja secara sah. Sebaliknya, langsung merubah status kerja bukan sanksi yang diatur hukum.
- Penilaian dan Pembinaan Kinerja: Gunakan prosedur evaluasi kinerja, bimbingan atau pelatihan untuk memperbaiki performa. Dokumentasikan hasil evaluasi sesuai Perjanjian Kerja atau PKB. Jika karyawan terus bermasalah, gunakan SP dan siapkan PHK sesuai aturan (bipartit/PHI).
- Mutasi atau Demosi (Penyesuaian Jabatan): Perubahan jabatan/penempatan (promosi atau demosi) hanya boleh dilakukan dengan dasar yang jelas dan sesuai kontrak/PKB. Jika perjanjian kerja/PKB memuat klausul mutasi, perusahaan dapat merotasi penugasan sesuai kebutuhan tanpa mengubah status kontrak. Namun demosi sepihak tanpa persetujuan dapat digugat sebagai PHK tidak sah (sebagaimana dimungkinkan pada kasus PT Askes 2011). Oleh karena itu, HR perlu memastikan setiap demosi/mutasi didasarkan pada klausul yang telah disepakati atau nego bersama agar tidak menyalahi Pasal 55 UU Ketenagakerjaan.
- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai Prosedur: Jika semua upaya perbaikan gagal atau ada kesalahan berat, PHK dilakukan sesuai Pasal 61 UU 13/2003 dan ketentuan PP 35/2021. PHK karena alasan berat (misalnya penipuan atau pelanggaran berat lainnya) diperbolehkan, dan dapat dilaksanakan tanpa pesangon (hanya uang hak) sesuai Pasal 158. Untuk PHK biasa (termasuk efisiensi atau pelanggaran ringan), perusahaan harus membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak sesuai UU/PP. PP 35/2021 (pelaksanaan UU Cipta Kerja) menjelaskan perhitungan kompensasi ini – misal PHK efisiensi: pesangon 0,5×, uang penghargaan 1×, dan uang pengganti hak (contoh berdasarkan simulasi PP 35/2021).
- Konsultasi Bipartit/Tripartit: Jika karyawan menolak pengakhiran, selesaikan secara bipartit atau via mediatori/aparat pemerintah (tripartit). Apabila tidak ada kesepakatan, ajukan ke PHI. Setiap langkah harus didokumentasikan dan dipatuhi, agar aman secara hukum.
Praktik Umum di Perusahaan dan Alternatif Lain
Banyak perusahaan di Indonesia menghindari “degradasi kontrak” karena berisiko gugatan. Praktik yang lebih umum meliputi:
- Rotasi Internal / Penugasan Ulang: Menempatkan karyawan ke departemen lain atau unit berbeda sesuai kebutuhan, asalkan diatur dalam kontrak/PKB. Rotasi dianggap sah bila karyawan telah menyetujui klausul penugasan fleksibel.
- Penyesuaian Jabatan (Demosi): Turunkan jabatan karyawan bermasalah sebagai opsi terakhir. Hanya lakukan berdasarkan analisis objektif (misal review kinerja) dan jelaskan konsekuensi finansialnya. Pastikan klausul kontrak tentang perubahan jabatan ada, karena demosi sepihak kerap berujung gugatan. Misalnya, dalam kasus di sebuah perusahaan (2011) sejumlah pekerja menggugat karena diperlakukan sewenang-wenang oleh mutasi tanpa alasan jelas.
- PHK dengan Kompensasi: Jika perbaikan tidak tercapai, PHK bisa menjadi jalan terakhir. Sesuai ketentuan baru, PHK wajib dibayar pesangon/kompensasi (sesuai PP 35/2021). Perusahaan kadang menawarkan paket insentif (dari perhitungan upah) agar karyawan menerima PHK secara damai. Dengan begitu, pelanggaran ditindak tegas tetapi dengan penghormatan hak sesuai UU.
- Contoh Kasus dan Peringatan: Dalam praktik, perusahaan yang mencoba menurunkan status pekerja tetap menjadi kontrak sering berhadapan dengan litigasi. Misalnya, ada sebuah Perusahaan Perkebunan (2015), manajemen memangkas gaji dan mengubah status PKWTT menjadi PKWT, yang ditentang karyawan dan dinyatakan oleh Disnaker sebagai pelanggaran hak ketenagakerjaan. Kasus ini mengilustrasikan risiko sanksi ilegal. HR sebaiknya belajar dari kejadian tersebut dan memilih opsi-opsi hukum di atas.
Kesimpulan:
Mengubah status PKWTT menjadi PKWT sebagai “hukuman” tidak diatur dan dilarang secara hukum. Semua tindakan disipliner harus mengikuti ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sebagai alternatif, HR dapat menerapkan SP bertingkat dan pembinaan, memanfaatkan mekanisme mutasi/demosi berdasar kontrak/PKB, atau jika perlu melakukan PHK dengan prosedur resmi dan kompensasi sesuai PP 35/2021. Langkah-langkah ini sah dan etis secara hukum, serta menghindarkan perusahaan dari gugatan.
Referensi:
UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 55, 59, 61, 158, 161); UU No.6/2023 (Cipta Kerja) dan PP No.35/2021 (perhitungan PHK); pendapat pakar/hukum online (menyatakan konversi status kontrak adalah pelanggaran); serta kasus dan praktik HR Indonesia
Disclaimer
Artikel ini disusun semata-mata untuk tujuan edukasi dan penyebaran informasi umum. Konten di dalamnya tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum, pendapat profesional, atau pengganti konsultasi dengan ahli hukum berlisensi. Pembaca disarankan untuk selalu berkonsultasi dengan penasihat hukum atau profesional terkait sebelum mengambil keputusan berdasarkan informasi dalam artikel ini. HRD Forum tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan artikel ini tanpa memperoleh saran profesional yang sesuai.