Satu Iklan, Empat Pekerjaan: Ketika Dunia Kerja Menuntut Serba Bisa, Tapi Tidak Selalu Adil
Pendahuluan: Ketika Satu Posisi Rasa Empat Posisi
Beberapa waktu lalu, beredar iklan lowongan kerja yang cukup mengundang perdebatan.
Posisi yang dicari hanya satu, tapi daftar kemampuannya panjang seperti daftar belanjaan:
“Dicari: Graphic Designer yang juga bisa Video Editing, Copywriting, dan Digital Marketing.
Gaji: Rp10.000.000/bulan.”
Komentar netizen langsung membanjiri postingan itu.
“Empat orang dijadikan satu!”
“Ini mah bukan multitalenta, tapi multi-exploitasi!”
“Kalau semua dikerjakan sendiri, kapan istirahatnya?”
Tapi yang menarik — ketika muncul iklan lain:
“Dicari: HR Practitioner dengan pengalaman di HR Planning & Recruitment, Performance Management, Industrial Relation, Compensation & Benefit, dan Learning & Development.”
Nyaris tidak ada yang protes.
Padahal, secara teknis, bidang HR juga terdiri dari lima fungsi berbeda yang biasanya dipegang oleh beberapa spesialis.
Lantas, kenapa industri kreatif diserbu kritik saat mencari orang serba bisa,
sementara posisi HR yang menuntut keahlian lintas fungsi nyaris tak menuai komentar negatif?
Mari kita bedah fenomena ini dengan kepala dingin dan hati terbuka.
1. Dunia Kerja Sedang Berubah — Tapi Ekspektasi Tidak Selalu Realistis
Kita hidup di masa di mana peran pekerjaan semakin cair.
Teknologi dan efisiensi membuat banyak perusahaan (terutama startup dan UMKM) menuntut satu hal:
“Kami butuh orang yang bisa banyak hal.”
Alasannya sederhana:
- Efisiensi biaya – lebih murah membayar satu orang Rp10 juta daripada empat orang Rp5 juta.
- Fleksibilitas operasional – lebih mudah koordinasi dengan satu orang yang memahami seluruh rantai kerja digital (dari ide sampai eksekusi).
- Kebutuhan adaptasi cepat – terutama di bisnis kecil yang masih mencari “product–market fit”.
Namun di sisi lain, muncul dilema serius:
Apakah “bisa banyak hal” berarti “harus mengerjakan semuanya”?
Di sinilah titik gesekan terjadi.
Bagi perusahaan, multi-skill adalah bentuk efisiensi.
Bagi pekerja, itu bisa terasa seperti eksploitasi terselubung.
2. Industri Kreatif vs HR: Dua Dunia dengan Dinamika yang Berbeda
Untuk menilai fenomena ini secara adil, kita perlu memahami konteks ekosistem kerja masing-masing.
a. Industri Kreatif (Desain, Video, Copywriting, Digital Marketing)
Bidang kreatif identik dengan:
- Skill teknis yang spesifik dan mendalam (software, tools, teknik visual),
- Proses kreatif yang memakan waktu dan energi mental,
- Output yang sering kali subjektif dan sulit diukur.
Contohnya:
- Graphic designer fokus pada visual dan komposisi.
- Video editor fokus pada storytelling visual dan teknis audio.
- Copywriter fokus pada narasi dan tone of voice.
- Digital marketer fokus pada strategi, analitik, dan iklan berbayar.
Meskipun semua berhubungan, masing-masing membutuhkan pola pikir, ritme kerja, dan keahlian yang berbeda.
Meminta satu orang menguasai semua bidang itu setara dengan meminta seorang koki memasak, melayani pelanggan, mencuci piring, dan mengatur promosi restoran — sendirian.
Itu bukan mustahil, tapi jelas tidak berkelanjutan.
b. Bidang HR (Human Resources / People Management)
Sebaliknya, dunia HR memang punya banyak fungsi —
namun semuanya berada di bawah satu umbrella system yang sama: manajemen manusia dan organisasi.
Fungsi-fungsi seperti:
- HR Planning & Recruitment
- Performance Management
- Industrial Relation
- Compensation & Benefit
- Learning & Development
…tidak selalu dikerjakan oleh orang yang berbeda, terutama di perusahaan kecil atau menengah.
Di level HR Generalist atau HR Business Partner, memang wajar seseorang memahami semua area tersebut — meski tidak semuanya dikuasai secara mendalam.
Sama seperti dokter umum yang memahami banyak hal tentang tubuh, meski bukan spesialis jantung atau syaraf.
Jadi ketika lowongan HR mencantumkan banyak fungsi, publik menganggap itu wajar karena memang bagian dari lingkup “SDM”.
3. Mengapa Iklan di Bidang Kreatif Memicu Emosi Lebih Besar
Ada alasan psikologis dan sosial yang membuat lowongan “serba bisa” di industri kreatif sering menuai reaksi negatif.
a. Budaya “Underpaid Creatives” Sudah Terlalu Sering Terjadi
Banyak pekerja kreatif sudah lama menghadapi undervaluation:
- “Desainnya cuma gitu aja kok mahal?”
- “Kan cuma ngedit video.”
- “Caption begini doang, masa bayar?”
Jadi, ketika muncul iklan yang menuntut empat keahlian sekaligus, publik langsung sensitif karena melihat pola yang sama: beban tinggi, penghargaan rendah.
b. Output Kreatif Bersifat “Terlihat”, Sehingga Mudah Dikritik
Desain, video, dan tulisan adalah hasil yang tampak oleh publik.
Ketika ekspektasi berlebihan muncul, semua orang bisa menilai ketimpangan antara effort dan bayaran.
Sementara HR bekerja di area internal — jarang terekspos publik, sehingga tidak memicu reaksi emosional serupa.
c. Kreativitas Tidak Bisa Dipaksa Efisiensi
Berbeda dengan fungsi administratif, pekerjaan kreatif memerlukan waktu untuk berpikir, bereksperimen, dan berimajinasi.
Ketika satu orang diminta melakukan semuanya, bukan hanya waktu yang terkuras — kualitas ide juga menurun drastis.
4. Tapi… Apakah Perusahaan Salah? Tidak Selalu.
Di sisi lain, kita juga perlu adil: tidak semua perusahaan bermaksud “memeras” tenaga kerja.
a. Realitas Bisnis Kecil dan Startup
Banyak bisnis baru belum mampu merekrut banyak orang.
Meminta satu orang dengan multi-skill bukan karena ingin menghemat berlebihan,
tetapi karena belum punya kapasitas finansial.
Perusahaan seperti ini biasanya berharap menemukan versatile talent —
seseorang yang bisa membantu mereka bertumbuh sampai mampu membangun tim yang lebih besar.
Dalam fase awal, perusahaan butuh “pemain serba bisa”.
Tapi dalam fase matang, mereka butuh “spesialis”.
Masalahnya bukan pada niat — tapi pada transparansi ekspektasi.
b. Ekspektasi Gaji Kadang Tidak Jauh dari Nilai Pasar
Gaji Rp10 juta di Jakarta, untuk seseorang yang menguasai empat bidang sekaligus, memang terasa timpang.
Namun, bagi UMKM di luar kota besar, angka itu bisa termasuk kompetitif.
Artinya, konteks lokasi, skala bisnis, dan tujuan posisi sangat menentukan apakah lowongan itu wajar atau berlebihan.
c. Beberapa Kandidat Memang Punya Kombinasi Skill Unik
Ada individu dengan latar belakang yang memadukan kreativitas dan strategi — misalnya creative marketer yang bisa menulis, mendesain, dan memahami iklan digital.
Bagi mereka, posisi seperti ini bisa justru jadi peluang emas untuk menonjolkan keunikan.
Jadi, tidak semua lowongan multi-skill harus langsung dianggap “toxic”.
Masalahnya terletak pada keseimbangan antara tuntutan dan kompensasi.
5. Analogi: “Generalist” vs “Specialist” — Dua Peran yang Sama Penting
Perdebatan tentang iklan ini sebenarnya bagian dari isu lebih besar:
apakah dunia kerja butuh lebih banyak generalist atau specialist?
| Aspek | Generalist | Specialist |
|---|---|---|
| Kelebihan | Fleksibel, bisa adaptasi cepat | Mendalam, hasil kerja berkualitas tinggi |
| Kekurangan | Kurang fokus, risiko burnout | Sulit beradaptasi di situasi dinamis |
| Cocok untuk | Startup, tim kecil, posisi strategis | Korporasi besar, tim teknis, posisi ahli |
Jadi, masalahnya bukan pada “bisa banyak hal”,
tapi apakah lingkungan kerjanya mendukung keseimbangan itu.
Jika perusahaan ingin satu orang memegang empat peran,
maka harus memberi:
- Waktu kerja yang realistis,
- Prioritas yang jelas,
- Dukungan alat dan tim,
- Kompensasi yang sesuai.
6. Kenapa HR Tidak Diserang: Faktor Persepsi dan Edukasi Publik
Ketika lowongan HR dengan lima bidang muncul, publik tidak marah bukan karena HR lebih dihormati — tapi karena:
a. Masyarakat Kurang Familiar dengan Detail HR
Banyak orang awam tidak tahu bahwa HR memiliki subdivisi spesifik.
Yang mereka pahami hanya “kerjaannya orang HR ya ngurus karyawan”.
Maka ketika lowongan mencantumkan banyak fungsi, mereka anggap itu normal.
Sebaliknya, bidang kreatif lebih populer dan “terlihat”,
sehingga publik lebih sadar akan perbedaan antarprofesi (desainer ≠ videografer ≠ copywriter).
b. HR Dipersepsikan sebagai Fungsi Manajerial, Bukan Produksi
HR sering diasosiasikan dengan pengambil kebijakan, bukan eksekutor teknis.
Sementara bidang kreatif lebih ke arah creator/implementor.
Ketika tuntutan banyak muncul di level implementasi, terasa berat —
tapi di level manajemen, dianggap bagian dari tanggung jawab.
c. Tingkat “Perceived Value” Berbeda
Banyak orang menilai bahwa tugas HR adalah bagian dari satu kesatuan: people management.
Sedangkan tugas kreatif dianggap berdiri sendiri-sendiri,
padahal masing-masing punya skill tree yang panjang dan mendalam.
7. Perspektif Fair: Dua Dunia, Dua Realitas
Mari kita simpulkan dengan cara adil.
Kapan Perusahaan Masih Bisa Mencari Multi-Skill Talent
✅ Saat:
- Skala bisnis masih kecil (early stage startup/UMKM).
- Beban kerja masih proporsional dan tidak melebihi kapasitas manusia wajar.
- Posisi tersebut jelas tujuannya (bukan “disuruh apa saja yang penting bisa”).
- Gaji dan benefit sebanding dengan nilai multi-skill yang diminta.
- Ada rencana jangka panjang membentuk tim spesialis ketika perusahaan tumbuh.
Kapan Lowongan Seperti Itu Tidak Etis
❌ Saat:
- Perusahaan besar tapi ingin hemat biaya dengan menyatukan 4 posisi.
- Ekspektasi tidak realistis tanpa dukungan alat atau tim.
- Tidak ada kejelasan prioritas pekerjaan.
- Gaji tidak mencerminkan tanggung jawab yang diemban.
8. Apa yang Bisa Dipelajari oleh Kedua Pihak
Untuk Perusahaan / HR:
- Transparansi adalah kunci.
Jelaskan dengan jujur: apa yang paling utama, apa yang sekadar nilai tambah. - Jangan sekadar mencari orang serba bisa — cari orang yang bisa tumbuh bersama.
Multi-skill bisa dilatih, asal ada kultur belajar. - Sesuaikan kompensasi dengan kompleksitas.
Bukan hanya dengan jam kerja, tapi dengan nilai yang diciptakan.
Untuk Pencari Kerja:
- Kenali nilai skill Anda.
Kalau punya keahlian di 3–4 bidang, Anda berhak menegosiasikan nilai yang sepadan. - Pahami konteks perusahaan.
Jangan buru-buru menolak; mungkin perusahaan sedang dalam fase early stage. - Jaga batas sehat.
Multi-skill itu kelebihan, tapi jangan sampai membuat Anda burnout karena dikerahkan tanpa arah.
9. Refleksi Akhir: Dunia Kerja Butuh Dialog, Bukan Cacian
Fenomena ini bukan tentang “siapa yang salah”.
Ini tentang ketidakseimbangan komunikasi antara ekspektasi dan realitas.
Pekerja kreatif merasa undervalued.
Perusahaan merasa terbatas secara sumber daya.
Dan publik — cepat sekali menilai, tanpa memahami konteks.
Kita perlu bergerak dari budaya “reaktif” menuju budaya “reflektif”:
- Tidak langsung marah saat melihat lowongan tidak ideal,
- Tidak asal hemat dengan mengorbankan kesejahteraan karyawan,
- Tapi mencari cara agar talenta dan bisnis bisa tumbuh bersama.
Kesimpulan: Antara Realitas, Ekspektasi, dan Keseimbangan
Lowongan multi-skill bukan sekadar masalah teknis — tapi cermin dari ketegangan antara idealisme dan realitas dunia kerja.
Ya, meminta satu orang menguasai empat bidang bisa terasa tidak adil.
Tapi menolak semua bentuk fleksibilitas juga bukan solusi.
Kuncinya ada pada proporsi, komunikasi, dan penghargaan.
Dunia kerja modern tidak butuh pekerja yang bisa semuanya,
tapi butuh organisasi yang tahu bagaimana menghargai setiap “sesuatu” yang bisa dilakukan seseorang.
🧭 Pesan Penutup:
Sebelum menilai sebuah lowongan “terlalu banyak tuntutan”,
tanyakan dulu: apakah perusahaan itu tahu apa yang benar-benar dibutuhkan —
dan apakah kandidatnya tahu nilai dirinya sendiri.
Di antara dua kesadaran itulah, keadilan profesional bisa lahir. ✨